Industri Tekstil Mencari Perlindungan Dari Pertumbuhan Impor Yang Tinggi

Industri Tekstil Mencari Perlindungan Dari Pertumbuhan Impor Yang Tinggi – Industri tekstil mencari perlindungan pemerintah dari pertumbuhan impor yang tinggi karena sektor ini tidak dapat bersaing di pasar domestik dan internasional.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekspor di industri tekstil hanya 3 persen per tahun selama 10 tahun terakhir, sementara pertumbuhan impor adalah 20 persen per tahun pada periode yang sama. americandreamdrivein.com

Ketua Asosiasi Pakar Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI) Suharno Rusdi mengatakan industri tekstil saat ini dalam kondisi yang sangat buruk karena pasar domestik dibanjiri oleh produk impor. sbobet88

“Jika hal itu dibiarkan terus menerus, itu akan membahayakan industri tekstil dan produk tekstil kami karena kami akan bergantung pada produk impor dan industri tekstil lokal akan semakin kehilangan pasar domestiknya,” katanya, Senin.

Untuk mengatasi masalah ini, Indonesia perlu memperkenalkan undang-undang tentang kedaulatan pakaian untuk membantu industri tekstil dalam negeri untuk berkembang, Suharno mengatakan, menambahkan bahwa undang-undang tersebut tidak hanya akan mengatur impor, tetapi juga harus menawarkan insentif untuk mendukung pengembangan nasional industri tekstil.

Industri Tekstil Mencari Perlindungan Dari Pertumbuhan Impor Yang Tinggi

“Keberadaan undang-undang tersebut sangat mendesak bagi industri nasional. IKATSI akan berjuang untuk mendukung lahirnya undang-undang semacam itu,” katanya.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen dan Filamen Serat Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta membuat pernyataan serupa, mengatakan perayaan Idul Fitri yang akan datang harus digunakan sebagai kesempatan oleh pemerintah untuk melindungi produk tekstil lokal dari badai produk impor.

“Dalam lima tahun terakhir, tekstil lokal Indonesia tidak dapat mengambil manfaat dari Idul Fitri karena masuknya ribuan kontainer produk tekstil ke pasar Indonesia,” kata Redma, menambahkan bahwa pada tahun 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mencoba menghentikan masuknya produk tekstil secara masif, tetapi hanya berlangsung enam bulan.

Karena itu, Redma meminta Kementerian Perdagangan untuk segera mengontrol masuknya impor tekstil untuk membantu industri lokal bertahan.

Dia juga meminta Presiden Jokowi Widodo untuk memperhatikan masalah ini karena impor besar-besaran dari produk-produk tersebut juga berkontribusi terhadap defisit perdagangan negara.

Di tengah ketegangan antara kedua negara raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat-Cina, Indonesia masih optimistis dapat bangkit dari keterpurukan, terutama dari sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT).

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan bahwa meskipun kedua pemimpin akan mengadakan pertemuan, tidak pasti apakah dampaknya terhadap ekonomi dunia, termasuk Indonesia.

Menurut Ade, saat ini harga jual sejumlah komoditas masih sangat rendah. Sementara daya beli masyarakat sudah menurun. Industri TPT otomatis tidak akan menjadi prioritas bagi masyarakat. 

“Tentu saja tekstil ini bukan prioritas. Karena prioritas saat ini adalah makanan-minuman, sekolah anak-anak, kesehatan dan angsuran keempat sepeda motor. Kelima hanya berpikir untuk membeli pakaian. Ini adalah snapshot dari kenyataan sekarang,” Ade kata di Konsolidasi dan Kolaborasi Industri TPT, Bandung.

Jadi, kata Ade, nilai impor terkecil yang masuk ke Indonesia masih terasa memberatkan bagi industri tekstil. Karena industri dalam negeri sendiri mengalami masa-masa sulit.

China, sebagai industri besar, merasa terkekang, sehingga mencari pasar secara agresif, dan bahkan ekspor ke Indonesia mencapai 1,3 miliar dolar.

“Kami dari TPT membentengi diri kami dengan perlindungan untuk produk dunia. Safeguard, November ini bisa diterapkan sehingga secara resmi perlindungan produk dalam negeri bisa berlaku,” katanya.

Ade mengatakan, nilai ekspor Indonesia terus meningkat. Tetapi di sisi lain, pasar domestik Indonesia buruk seperti India, Turki dan Chili.

Sedangkan negara yang sekarang diuntungkan adalah Vietnam. Untuk alasan ini, Undang-Undang Omnibus saat ini menginventarisir sejumlah undang-undang yang membebani sektor investasi di Indonesia.

Terlepas dari dua hal ini, Ade mendorong industri dalam negeri untuk tidak tertidur dan tetap siap bersaing dengan pasar global. Salah satunya dengan merestrukturisasi mesin dengan yang terbaru dan paling canggih. Selain itu pemerintah akan mengizinkan impor mesin bekas dengan batas maksimum 3-5 tahun.

“Kementerian Perindustrian akan memulai program restrukturisasi untuk mesin ini pada 2020. Sekarang sudah berjalan paralel dengan safeguard dan Omnibus Law. Sehingga pada 2020 kuartal ke-3 dari kebangkitan industri TPT,” kata Ade.

Pemerintah Indonesia telah mengenakan bea tambahan sementara atas impor tekstil dan produk tekstil hingga 67,70 persen, kata kementerian keuangan pekan lalu. Langkah baru ini adalah langkah pengamanan untuk melindungi industri hulu domestik dari lonjakan impor baru-baru ini dan mendorong penggunaan produk pasar domestik.

Kebijakan tersebut diatur dalam tiga peraturan menteri keuangan nomor PMK 161 / PMK.010 / 2019, PMK162 / PMK.010 / 2019, dan PMK 163 / PMK.010 / 2019, yang dapat diakses di situs resmi kementerian.

Melalui PMK 161 / PMK.010 / 2019, kementerian keuangan telah menetapkan bea tambahan sementara untuk produk-produk benang – selain benang jahit – dari staples sintetis dan buatan impor mulai dari Rp1.405 (US $ 0,10) per kilogram.

Sementara itu, dalam PMK162 / PMK.010 / 2019, kementerian juga telah menetapkan bea tambahan sementara untuk produk kain impor mulai dari Rp1.318 hingga Rp9.521 per meter dan tarif ad valorem mulai dari 36,30 persen menjadi 67,70 persen.

Kemudian, dalam PMK 163 / PMK.010 / 2019, kementerian memberlakukan bea tambahan sementara untuk produk gorden, tirai, kelambu, dan barang-barang furnitur lainnya yang diimpor dengan harga Rp41.083 per kilogram.

Industri Tekstil Mencari Perlindungan Dari Pertumbuhan Impor Yang Tinggi

Direktur bea cukai internasional dan antar lembaga, Syarif Hidayat, mengungkapkan bahwa bea tambahan sementara diberlakukan untuk beberapa pos tarif di buku tarif bea cukai Indonesia.

“Bea tambahan sementara diterapkan untuk impor produk benang (selain benang jahit) dari serat stapel sintetis dan buatan dengan 6 pos tarif,” kata Hidayat dalam pernyataan tertulis.

Dia melanjutkan, produk gorden, tirai bagian dalam, kelambu, dan item furnitur lainnya adalah delapan pos tarif, dan produk kain adalah 107 pos tarif, dengan tarif tarif tercantum dalam peraturan. Dia menambahkan, aturan akan diterapkan pada 9 November, dan akan berlaku selama dua ratus hari.

Sementara, untuk memastikan implementasi aturan ini berjalan dengan lancar tanpa mengabaikan pengawasan barang impor, kementerian melalui bea cukai dapat melakukan pemeriksaan fisik berdasarkan manajemen risiko sesuai dengan PMK 225 / PMK.04 / 2015 tentang pemeriksaan pabean di sektor impor, katanya.

Akhir-akhir ini, Indonesia telah melihat lonjakan impor tekstil dan produk tekstil. Komite Perlindungan Perdagangan Indonesia baru-baru ini meluncurkan investigasi terhadap peningkatan impor kain setelah pengaduan diajukan oleh Asosiasi Pertekstilan Indonesia.

Dari bukti awal yang diajukan dalam pengadu, panitia menemukan peningkatan tajam dalam impor kain. Selain itu, ada indikasi awal kerusakan serius atau berpotensi kerusakan serius pada industri dalam negeri.

Sebelumnya, Moody’s Investors Service memberi peringkat bahwa Amerika Serikat (AS) sengketa perdagangan China dapat menyebabkan masuknya benang, kain, dan pakaian Cina ke Indonesia. Dikatakan, berpotensi mengganggu tingkat permintaan dan pasokan yang sejauh ini stabil di Indonesia dengan mendorong pasokan, yang pada gilirannya akan menekan harga dan merugikan produsen lokal.

Moody’s menjelaskan bahwa tarif yang diberlakukan oleh AS terhadap ekspor tekstil Cina adalah 25 persen berbanding 10 – 15 persen yang telah diterapkan Indonesia.

“Perusahaan tekstil Indonesia yang kami nilai tidak kebal terhadap dumping produk tekstil China di Indonesia, jika hal itu terjadi,” kata Stephanie Cheong, seorang Analis Moody dalam laporan terbaru.

Dia melanjutkan, “Namun demikian, profil kredit perusahaan-perusahaan ini harus tetap stabil selama 12-18 bulan ke depan, karena ekspor menyumbang sebagian besar dari total penjualan mereka, dan karena mereka mempertahankan hubungan pelanggan lama dan menghasilkan kisaran nilai yang kuat produk tambahan yang tidak mudah diganti oleh manufaktur impor.”

Moody’s menunjukkan bahwa walaupun ada kekhawatiran bahwa perusahaan China akan mengalihkan produk tekstil mereka ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, perkiraan data perdagangan awal yang diterbitkan oleh Bank Indonesia selama enam bulan antara Januari dan Juni 2019 menunjukkan bahwa nilai tahun-ke-tahun dari impor dan ekspor secara umum tetap stabil.