Industri Tekstil di Dalam Negeri Tiarap

Industri Tekstil di Dalam Negeri Tiarap – Tekstil dikelompokan menurut jenisnya:

1. Berdasarkan jenis product atau bentuknya: serat staple, serat filamen, dan benang kain product jadi

2. Berdasarkan jenis bahannya:serat alam, serat sintetis dan serat campuran idn slot

3. Berdasarkan jenis warna/motifnya:putih, berwarna, bermotif/bergambar www.mrchensjackson.com

4. Berdasarkan jenis konstruksinya: tenun,rajut,renda,kempa,benang tunggal,benang ginti idn slot

Berdasarkan kegunaannya bahan tekstil dikelompokan sebagai berikut

1. Keperluan busana (apparel textile) untuk kemeja, celana, pakaian dalam, dan pakaian sehari-hari, sepatu, kaus kaki dan sejenisnya

2. Keperluan militer atau military textile untuk pakaian tempur, parasut, tenda, ransel dan lain lain.

3. Keperluan medis (hospitality textile) untuk perban, pakaian dokter atau perawat saat bekerja, baju pasien, perlengkapan pasien saat dirawat di rumah sakit dan sebagainya.

4. Keperluan  penyangga  struktur  tanah  menggunakan geotextile,  yaitu sejenis  serat  poliester dengan pembuatankhusus.

5. Keperluan  industri  (industrial  textile)  kemasan  produk, belt,  tali, conveyor,  dan pakaian  kerja sesuai profesi misal pakaian montir, operator mesin dan lainnya.

6. Keperluan olah raga atau sport wear and sport textile untuk pakaian olah raga yang berbeda-beda desain dan spesifikasinya misal sepak bola, tenis, renang juga keperluan tekstil lainnya seperti net pingpong, layar dan banyak lagi sesuai dengan berbagai jenis cabang olah raga.

Sengkarut masalah dalam Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) semakin buncah. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G. Ismy mengatakan pelaku bisnis di sektor ini sudah semakin tertekan olehlonjakan impor tekstil. “Kalau diibaratkan, kami ini sudah ketiban,” kata dia, dalam diskusi di Hotel Millenium, Jakarta Pusat, Rabu, 11 September 2019.

Industri Tekstil di Dalam Negeri Tiarap

Akibat digempur tekstil impor, sembilan perusahaan tekstil diketahui telah gulung tikar selama tiga tahun terakhir, sejak 2017. Sehingga, rasionalisasi atau pemutusan hubungan kerja pun tak terhindarkan, mulai dari 75 hingga 500 karyawan di setiap perusahaan. Menurut Ernovian, mayoritas dari perusahaan ini berada di daerah Jawa Barat, Jakarta, dan sekitarnya.

Ernovian mengatakan persoalan yang terjadi sebenarnya lebih kompleks. Pertama tentunya lonjakan barang impor tekstil yang masuk ke Indonesia dengan harga murah. Sementara, harga produk lokal lebih tinggi lantaran kurangnya daya saing. Daya saing ini rendah lantaran ongkos produksi yang tinggi. “Untuk kain saja, ini sudah terjadi sejak 2010, tapi baru sekarang kedengeran,” kata dia. Untuk itu, API telah mengajukan permohonan penyelidikan safeguard kepada Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) Kementerian Perdagangan atas lonjakan impor ini.

Kedua, ada sejumlah regulasi yang justru memberatkan produsen. API mencatat, setidaknya ada 13 aturan, mulai dari Undang-Undang, Peraturan Presiden, hingga Peraturan Menteri yang justru memberatkan dan mengurangi daya saing produk lokal. Salah satunya yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019 tentang Baku Mutu Air Limbah.

Menurut Ernovian, aturan ini mendiskriminasi produsen dalam negeri karena standar baku mutu air limbah yang diwajibkan untuk industri tekstil lebih ketat ketimbang industri lainnya yang memiliki potensi pencemaran lebih tinggi. Sebut saja petrokimia hulu, deterjen, hingga farmasi. Selain itu, ada penambahan dua parameter yaitu suhu dan warna yang sulit dicapai parameternya. Sementara di negara pesaing, kata dia, dua parameter ini sama sekali tidak ada.  “Kami menyayangkan banyaknya peraturan yang melarang,” kata dia.

Gulung tikarnya sembilan perusahaan tekstil ini sebelumnya disampaikan oleh Ketua Umum API Ade Sudrajat. Menurut Ade, besarnya volume suatu produk impor kain membuat industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri sulit bersaing karena harga kain impor yang lebih murah. “Tidak ada pilihan lain selain menutup industrinya. Sekarang yang sudah tutup kami catat terdapat sembilan perusahaan yang hampir mendekati 2.000 orang (pekerja),” kata dia pada diskusi di Menara Kadin, Jakarta, Senin, 9 September 2019.

Selain API, kondisi serupa juga dialami oleh pelaku di sektor hulu lainnya dari Asosiasi Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI). Sekjen APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan produk bahan baku tekstil dalam negeri saat ini juga digempur oleh barang impor. Sekitar tahun 2008, kata dia, impor bahan baku tekstil baru sekitar 300 ribu ton. Namun saat ini bisa mencapai 800 ribu ton per tahunnya.

Dari sisi harga, kata Redma, produk impor pun lebih murah lantaran adanya praktik dumping yang dilakukan oleh negara asal. Beruntung, saat ini sudah ada Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) di Kementerian Keuangan untuk bahan baku tekstil, sehingga kerugian di industri hulu bisa ditekan hingga 3 sampai 4 persen. Anggota APSyFI saat ini memang belum ada yang gulung tikar. “Tapi sudah empat perusahaan mengurangi produksi, mereka menutup satu line, sekitar 100 ribu ton per tahun,” kata dia.

Selain impor, Redma juga mengeluh soal sejumlah regulasi yang malah membuat produk impor semakin membanjiri pasar tekstil dalam negeri. Salah satunya yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil. Lewat aturan ini, tak hanya produsen yang bisa mengimpor bahan baku tekstil, tapi juga trader atau pedagang.

Belum lagi harga gas untuk industri yang sempat dijanjikan US$ 6 per mmbtu (million british thermal unit), namun realisasinya mencapai US$ 9,6 per mmbtu. “Kami juga terima surat dari Perusahaan Gas Negara (PGN) kalau mau dinaikkan lagi,” kata dia. Redma pun bingung menghadapi situasi ini, di satu sisi daya saing industri dalam negeri susah dinaikkan, tapi di sisi lain produk impor terus mengalir deras.

Selain hulu, industri tekstil di hilir pun ternyata tak lepas dari tekanan impor maupun regulasi.

Daniel Tan, pemilik dari Melly Garment, produsen pakaian bayi, mengatakan dirinya sempat bernapas lega ketika pada 2015, impor produk tekstil sempat dibatasi. Tapi semakin ke sini, produk impor semakin meningkat. Dampaknya paling dirasakan oleh industri rumah tangga yang menjadi mitra Daniel. “Itu yang kasihan, mereka belum siap menerima pengurangan itu (produksi),” kata dia.

Industri Tekstil di Dalam Negeri Tiarap 1

Tak sampai di situ, sektor hilir ini juga semakin terbebani dengan adanya kewajiban Standar Nasional Indonesia (SNI). Persoalannya, terdapat setidaknya 17 tahap yang harus diurus pelaku usaha untuk sekedar mendapatkan SNI ini dan harus diperbarui setiap enam bulan sekali. Akan tetapi, kebijakan yang sama tidak berlaku untuk produk impor. Ini gak masuk akal banget,” kata dia. Untuk itu, Daniel meminta aturan ini direlaksasi lantaran produk yang dia produksi hanya untuk kelompok menengah ke bawah.

Masalah ini sudah sampai ke telinga Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil, Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono. Kementerian rupanya telah melakukan pemantauan terhadap industri TPT nasional. Hasilnya, belum ditemukan adanya pabrik tekstil yang tutup.

Menurut Achmad, yang terjadi hanya penghentian sementara kegiatan produksi, yang umumnya pada industri pakaian jadi untuk kebutuhan ekspor. Kelompok industri ini, kata dia, memiliki ketergantungan pada permintaan luar negeri. Maka ketika permintaan berhenti, otomatis pabrik menghentikan produksi.

Selain itu, Achmad menegaskan tidak pernah terjadi lonjakan impor TPT seperti yang dikeluhkan industri. Dari catatan Kemenperin, total impor produk TPT sepanjang semester pertama 2019 mencapai US$ 4,07 miliar. Impor ini terdiri dari US$ 165,4 juta pada tekstil lainnya, US$ 399 juta pada pakaian jadi, US$ 2.709 juta pada kain, US$ 378 juta pada benang, dan US$ 966 juta pada serat. Angka ini turun dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$ 4,16 miliar, dan tahun 2018 yang mencapai US$ 8,68 miliar.